KITAB IBANAH AL-AHKAM, THAHARAH BAB I :
TENTANG AIR
HADITS KE-1
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
1. ARTI
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhubahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal."
Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.
FAEDAH HADITS :
1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap.
2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian, tanah, atau selainnya.
3. Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya.
4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut.
5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja.
6. Sabdanya الطهور ماؤه (suci dan mensucikan airnya), dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut.
7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum (yang ditambahnya tersebut).
8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambah "dan halal bangkainya"), dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting.
9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”.
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM, BAB THAHARAH*
*HADITS KE-2*
*وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد*
_*Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya."*_
Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.
*HADITS KE-3*
*وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍوَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ*
_*Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.*_
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim. Dalam riwayat Al Baihaqi, "Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya."
*Fiqh Hadis Ke 2 :*
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum air apabila bercampur najis, sedangkan salah satu sifatnya tidak ada yang berubah.
*Imam Malik* berpendapat bahawa air tersebut dapat menyucikan, sama ada
sedikit ataupun banyak, kerana berlandaskan kepada hadis ini dan beliau memutuskan tidak lagi suci apabila air tersebut sudah berubah salah satu sifatnya kerana najis itu.
*Mazhab al-Syafi'i, Hanafi dan Hanbali* berpendapat bahawa air itu terbahagi
kepada air sedikit yang tercemar oleh najis secara mutlak dan air banyak yang tidak terpengaruh oleh najis kecuali jika salah satu dari ketiga-tiga sifatnya
berubah, iaitu warna, rasa atau baunya. Akan tetapi, mereka pun masih berselisih pendapat mengenai batasan air sedikit dan air banyak itu. Mazhab al-Syafi'i dan mazhab Hanbali mengatakan bahwa air sedikit itu ialah air yang jumlahnya kurang dari dua qullah, sedangkan air banyak ialah air yang jumlahnya mencapai dua qullah atau lebih. Mereka berpendapat demikian kerana berpegang kepada hadis yang menyatakan dua qullah, lalu mereka menjadikannya sebagai mukhasis (yang mengkhususkan) hadis yang bermakna mutlaq (umum) ini. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa air sedikit ialah air yang kurang dari 'asyrun fi 'asyrin, sedangkan air banyak ialah kebalikannya.
*Fiqh Hadis Ke 3 :*
Para ulama bersepakat bahawa air itu apabila dicemari atau dijatuhi najis hingga merubah salah satu daripada sifatnya, yakni warna, rasa, atau baunya, maka air itu menjadi najis.
*Faidah Hadits (2 dan 3):*
1. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa, secara asal, air adalah suci dan mensucikan, tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya.
2. Kemutlakan ini dimuqoyyadkan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah bau, rasa, atau warna air, jika berubah maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.
3. Yang meng-muqoyyad-kan kemutlakan ini adalah ijma' umat islam bahwa air yang berubah oleh najis, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.
Adapun lafadz tambahan yang datang pada hadits Abu Umamah maka itu dho'if, tidak tegak hujjah dengannya, akan tetapi:
- Imam An-Nawawi berkata, "para ulama telah ijma' terhadap hukum dari lafadz tambahan ini".
- Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama ijma' bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika terkena najis dan mengubah rasa, warna, atau bau air tersebut, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis).
- Ibnul Mulaqqin berkata, "terlepas dari kedhoifan tambahan (yang mengecualikan) tersebut, ijma’ dapat dijadikan hujjah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syafi'i dan Al Baihaqi, dan selain keduanya. Syaikhul Islam berkata, "Apa yang telah menjadi ijma' oleh kaum muslimin maka itu berdasarkan nash, kami tidak mengetahui satu masalahpun yang telah menjadi ijma' kaum muslimin tetapi tidak berdasarkan nash.
*Sumber Faidah Hadits :* kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam
والله أعلم
[22/12/2017 1:08 AM] Musthofa AB:
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI*
_*BAB THAHARAH*_
*HADITS KE-4 :*
*وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ*
_*Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis".*_
Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.
*Makna Hadis :*
Berapa banyak Rasulullah (s.a.w) menjawab orang yang bertanya kepadanya dengan jawaban yang jelas dan tepat, supaya menjadi pelita yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk sepanjang masa. Ini termasuk sabda yang memisahkan antara perkara yang hak dan yang bathil, dan merupakan tanda kenabiannya. Rasulullah (s.a.w) pernah ditanya mengenai air yang ada di tengah padang pasir, yaitu pada dataran rendah dan tempat genangan air serta tempat yang selainnya. Air seperti itu biasanya tidak diketahui takaran dan jumlahnya, lalu Nabi (s.a.w) memberitahu bahwa air itu apabila jumlahnya mencapai dua qullah tidak membawa najis, artinya tidak menerima najis, bahkan najis itu tidak mempengaruhi kesuciannya.
*Fiqh Hadis :*
1. Bekas jilatan binatang dan haiwan buas pada kebanyakannya tidak terlepas daripada najis, sebab biasanya hewan buas apabila datang ke kolam untuk meminum air, ia menceburkan diri ke dalam kolam tersebut, lalu kencing di dalamnya, bahkan ada kadang tubuh hewan itu tidak terlepas dari bekas kencing dan kotorannya.
2. Berdasarkan hadis ini, Imam al-Syafi'i dan Imam Ahmad membuat suatu
ketetapan bahwa air banyak itu ialah air yang jumlahnya mencapai dua qullah
dan tidak ada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis selagi warna, bau atau rasanya tidak berubah.
*والله سبحانه وتعالى أعلم*
[23/12/2017 1:28 AM] Musthofa AB:
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI AL-MALIKI*
_*BAB THAHARAH*_
*HADITS KE-5 :*
*وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ*
* لِلْبُخَارِيِّ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ*
* وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ*
_*Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim.*_
_*Menurut Riwayat Imam Bukhari: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya."*_
_*Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya."*_
*Makna Hadits :*
Hadis ini merupakan salah satu asas yang membahas tentang masalah bersuci yang dianjurkan oleh syariat Islam. Melalui hadis ini Rasulullah (s.a.w) melarang orang yang junub mandi didalam air yang tergenang dan tidak mengalir, sebab dengan kerap mandi di dalamnya dikhawatiri akan mengakibatkan air menjadi berubah. Tujuan utama larangan ini ialah menjauhkan diri dari perkara-perkara kotor ketika bertaqarrub (ibadah mendekatkan diri) kepada Allah. Hadis ini mengandung larangan kencing sekaligus mandi di dalam air yang tidak mengalir. Adapun larangan kencing didalam air yang tergenang maka ini disimpulkan dari riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim. Riwayat Muslim mengatakan bahwa Nabi (s.a.w) melarang kencing dan mandi didalam air yang tergenang, apabila orang yang bersangkutan dalam keadaan junub. Larangan ini menunjukkan hukum makruh bagi air yang banyak, dan haram bagi air yang jumlahnya sedikit.
*Fiqh Hadis :*
1. Orang yang junub dilarang mandi di dalam air yang tergenang (tidak
mengalir).
2. Air yang tergenang tidak najis karena orang yang junub mandi di dalamnya, sebaliknya ia hanya menghapuskan sifat menyucikannya. Jadi, airnya masih boleh digunakan untuk keperluan lain kecuali untuk menghilangkan hadas
dan menghilangkan najis.
3. Dilarang kencing di dalam air yang tergenang, sebab itu akan menyebabkan air menjadi tercemar.
4. Hadits ini membuktikan bahwa air kencing itu najis.
*Perbedaan Pendapat Ulama :*
Para ulama berbeda pendapat apakah larangan ini berkonsekuensi haram atau makruh.
- Madzhab Malikiyah berpendapat makruh, karena air tetap dalam keadaan suci.
- Madzhab Hanabilah dan Zhohiriyyah berpendapat haram.
- Sebagian ulama berpendapat haram pada air yang sedikit, dan makruh pada air yang banyak.
Secara zhohir, larangan tersebut hukumnya haram baik pada air yang sedikit maupun banyak, meskipun air tidak ternajisi, ‘illah (sebab) nya adalah karena kotornya air dan menjijikkan bagi orang lain.
*Peringatan :* dikecualikan air yang sangat banyak (seperti air laut dan danau) berdasarkan kesepakatan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Demikian Kajian Hadits untuk hari ini. Semoga bermanfaat. Aamiin..
[24/12/2017 2:17 AM] Musthofa AB:
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI*
_*BAB THAHARAH*_
*HADITS KE-6 :*
*وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ*
*Seorang laki-laki yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air bersamasama. " Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya benar.*
*Makna Hadis :*
Hadis ini mengandung pengertian bahwa ketika bersuci dari junub, suami dan isteri dilarang menggunakan bekas sisa air masing-masing dan keduanya boleh melakukan bersuci mengambil air dari satu wadah dalam waktu yang bersamaan.
*Fiqih Hadis :*
_1. Seorang isteri dilarang mandi dengan air bekas mandi suaminya._
_2. Suamipun dilarang mandi dengan air bekas mandi isterinya._
_3. Suami dan isteri boleh mandi dari satu wadah dengan memakai alat mandinya masing-masing._
_4. Larangan dalam hadis ini menunjukkan makna tanzih (makruh)._
*Demikian Kajian Hadits untuk hari ini. Semoga bermanfaat. Aamiin..*
[25/12/2017 1:15 AM] Musthofa AB:
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI*
_*BAB THAHARAH*_
*HADITS KE-7 :*
*وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ*
*وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ : اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا فَقَالَ : إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُوَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ*
_*Dari Ibnu Abbas r.a : Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.*_
_*Menurut para pengarang kitab Sunan : Sebagian istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya : Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub." Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.*_
*Makna Hadis :*
Hadis ini mempunyai arti bahwa seorang lelaki diperbolehkan bersuci dari sisa air yang telah digunakan oleh isterinya. Apabila seorang laki-laki diperbolehkan bersuci dari sisa air bekas isterinya, maka secara qiyas seorang wanita juga diperbolehkan
bersuci dari air bekas suaminya.
Dalam dua keadaan tersebut, hukum air sisa itu adalah suci lagi menyucikan, sebab air tersebut tidak najis. Oleh karena itu, Nabi (s.a.w) bersabda kepada istrinya: “Sesungguhnya air ini tidak najis,” untuk menetapkan dan mengukuhkan hukum kesucian air tersebut. Ini antara kemudahan agama Islam dan betapa mudah hukum-hukumnya untuk diamalkan.
*Tambahan :*
Jumhur ulama dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak mengapa laki-laki (suami) berwudhu' atau mandi dengan air bekas wudhu'nya wanita (istri), berdasarkan hadits Maimunah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadits 7 di atas), dan hadits ini lebih shahih dibandingkan hadits 6. Kebanyakan ulama mendho'ifkan hadits 6, (seperti Imam Bukhori, An Nawawi, Ibnul Qoyyim, dll.)
Namun, ada juga ulama yang menshahihkan hadits 6 tersebut seperti Syaikh Al Albani di kitab Shahih Abu Dawud, dishahihkan juga oleh Syaikh Al Bassam (seperti keterangan di atas). Karena hadits-hadits tersebut shahih, maka sebagian ulama berusaha menjama' (mengkombinasikan) antar hadits-hadits tersebut, cara mengkombinasikannya yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak berkonsekuensi haram, akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meniggalkannnya, tetapi jika dia melakukannya maka tidak mengapa.
Berkata Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah, "larangan tersebut dimaknai untuk kebersihan sehingga terjama'lah dalil-dalil yang ada, ketika air lain ada maka sebaiknya mandi dengannya, tidak dengan air bekas bersuci wanita. Adapun jika butuh untuk menggunakan air bekas bersuci wanita, maka hilanglah hukum makruhnya, karena mandi itu wajib dan wudhu juga wajib, tidak ada kemakruhan ketika kondisinya butuh untuk menggunakan air tersebut. Jika Anda menemukan air yang banyak, maka lebih baik si laki-laki tidak mandi dengan air bekas wanita, dan wanita tidak mandi dengan air bekas laki-laki."
*Kesimpulan :*
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah lebih utama bagi seorang laki-laki (suami) tidak mandi atau berwudhu' dengan air bekas bersuci wanita (istri), tetapi jika dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa menggunakannya. Wallahu a'lam.
*Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.* Semoga bermanfaat. Aamiin..
[26/12/2017 12:38 AM] Musthofa AB:
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI*
_*BAB THAHARAH*_
*HADITS KE-8 :*
*وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ*
_*Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah." Dikeluarkan oleh Muslim.*_
_*Dalam riwayat lain disebutkan: "Hendaklah ia membuang air itu." Menurut riwayat Tirmidzi: "Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)".*_
*Makna Hadis :*
Rasulullah (s.a.w) banyak memiliki mukjizat dan ini merupakan salah satu
mukjizatnya. Ilmu modern telah membuktikan bahwa dalam ludah anjing terdapat bakteri-bakteri yang tidak dapat dimatikan melainkan hanya dengan tanah yang, dicampur dengan air. Oleh itu, syariat yang bijaksana
menyuruh supaya membuang air yang telah diminum anjing, kemudian membasuh wadahnya sebanyak tujuh kali basuhan yang salah satu di antaranya dicampur dengan tanah.
*Fiqh Hadis :*
_1. Mulut anjing adalah najis, yaitu najis mughalazhah (najis berat). Semua anggota tubuhnya disamakan pula dengan mulutnya, menurut pendapat jumhur ulama. Sedangkan Imam Malik mengatakan bahwa anjing itu suci, membasuh bekas jilatannya sebanyak tujuh kali basuhan hanyalah merupakan perkara ta'abbudiyyah belaka. Menurutnya lagi, masalah mencampurkan salah satu basuhan dengan tanah adalah tidak betul. Mencampurkan air dengan tanah ketika membasuh bekas yang terkena jilat anjing disebut istilah al-tatrib._
_2. Wajib membasuh bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali basuhan, salah satu di antaranya dicampur dengan tanah. Wajib membuang air yang diminum oleh anjing._
*Tambahan :*
*Penggunaan debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena :*
- Dengan debu dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika menggunakan bahan pembersih lain.
- Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya. Ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
- Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits, wajib kita mengikuti nash. Seandainya ada benda lain yang boleh menggantikannya maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa” (al ayah).
- Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah bercampur dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya. Adapun dengan mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah.
- Telah tetap secara medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat modern lainnya bahwa di dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit yang mematikan dan air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai dengan debu. Tidak ada cara lain. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui lagi Memberi tahu.
*Faidah Hadits :*
~ Makna lahiriyah hadits ini adalah umum untuk seluruh jenis anjing, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Akan tetapi sebagian ulama mengatakan, “anjing untuk berburu, menjaga kebun, anjing peliharaan adalah anjing-anjing yang dikecualikan dari keumuman ini. Hal ini berdasarkan pada kaidah toleransinya syariat dan kemudahannya. “Kesulitan dapat menarik kemudahan”.
~ Sahabat-sahabat kami menyamakan anjing dengan babi di dalam kenajisannya yang berat, dan hukum mencuci najisnya babi sama dengan mencuci najisnya anjing. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi pendapat ini, mereka TIDAK menyamakan hukum mencuci najis babi dengan mencuci najis anjing yang tujuh kali dan berurutan. Mereka mencukupkan apa yang ada di dalam nash. Selain itu illah (alasan) hukum di dalam beratnya najis anjing tidak jelas.
Wallau a'lam bisshowab.
*Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.* Semoga bermanfaat. Aamiin..
[27/12/2017 12:49 AM] Musthofa AB:
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI*
_*BAB THAHARAH*_
*HADITS KE-9 :*
*وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِي الْهِرَّةِ - : إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْأَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة*
*Dari Abu Qotadah Radliyallaahu 'anhu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing -bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu. Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.*
*Makna Hadis :*
~Kucing tidak termasuk hewan yang najis tubuhnya, kerana 'illat darurat yaitu kucing sering kali berkeliaran dan keluar masuk rumah, sehingga sukar menjaga bejana, pakaian, dan lain-lain daripada ulah kucing itu. Oleh yang demikian
syariat menjadikannya sebagai hewan yang suci untuk menghindari kesusahan di samping ini merupakan salah satu bentuk belas kasih Allah kepada hamba-hamba-Nya.
~Asbab al-wurud (latar belakang) hadis ini ialah pada suatu hari Abu Qatadah meletakkan air minumnya lalu datanglah kucing meminumnya. Abu Qatadah memberikan kesempatan kepadanya untuk minum dengan memiringkan bejana air. Ketika ada orang yang menegur sikapnya itu, Abu Qatadah mengatakan kepada orang tersebut bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: “Sesungguhnya
kucing itu tidak najis sehingga apa yang disentuhnya pun tidak najis.”
*Fiqh Hadis :*
_1. Orang yang tidak mengetahui hukum satu-satu permasalahan dianjurkan untuk menanyakannya kepada orang yang 'alim._
_2. Anjuran supaya berbelas kasihan kepada hewan._
_3. Kucing adalah binatang yang suci, begitu pula dengan bekas jilatannya._
_4. Jika terdapat najis pada mulut kucing, maka hukumnya najis kerana adanya benda najis yang melekat pada anggota tubuhnya. Tetapi najisnya itu bersifat mendatang dan ia menjadi suci semula apabila pergi meninggalkan tempat orang yang bersangkutan atau telah berlalu beberapa waktu sejak ia terkena najis._
*Faidah Hadits :*
- Kucing bukan hewan yang najis, sehingga tidak ternajisi apa-apa yang disentuhnya dan air yang dijilatnya.Alasan (‘illah) tidak najis tersebut adalah karena kucing merupakan hewan yang banyak mondar-mandir dan merupakan hewan pelayan yang melayani majikannya, kucing tersebut bersama manusia di rumah-rumah mereka dan tidak mungkin mereka melepaskan diri darinya.
- Hadits ini dan semisalnya merupakan dalil kaidah yang umum yaitu “kesulitan dapat menarik kemudahan”, maka seluruh yang tersentuh oleh kucing adalah suci, walaupun basah.
- Di-qiyas-kan (diserupakan hukumnya) dengan kucing yaitu seluruh hewan sejenisnya yang haram (dimakan), akan tetapi hewan-hewan tersebut jinak dan penting untuk dipelihara, seperti baghol dan himar (keledai), atau sejenis hewan yang tidak mungkin dihindari keberadaannya seperti tikus.
- Ahli fiqih dari kalangan Hanabilah dan selain mereka menjadikan seluruh hewan yang haram (dimakan) dan burung yang berukuran sama dengan kucing atau yang lebih kecil disamakan hukumnya dari sisi kesucian dan kebolehan untuk menyentuhnya, namun kesucian hewan-hewan ini dan sejenisnya bukan berarti halal dimakan dengan sesembelihan, kesucian yang dimaksud hanyalah kesucian tubuhnya dan apa-apa yang tersentuh olehnya. Akan tetapi yang lebih rajih (pendapat yang lebih kuat) adalah memuqoyyadkan-nya dengan hewan-hewan yang diharamkan, baik hewan itu bertubuh besar ataupun kecil, karena inti dari ‘illah tersebut adalah “hanyalah ia hewan yang suka berkeliaran di sisi kalian”. Sabda beliau, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis” merupakan dalil tentang kesucian seluruh anggota badan dari kucing. Inilah pendapat yang lebih benar daripada perkataan yang membatasi kesuciannya pada jilatan dan apa-apa yang tersentuh oleh mulutnya saja, serta menjadikan anggota badan lainnya berhukum najis, pendapat ini menyelisihi apa yang terpahami dari hadist di atas, dan menyelisihi ta’lil (alasan) yang terpahami dari sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”, karena “berkeliaran (mondar-mandir)” berarti bisa disentuh seluruh anggota badannya.
- Yang terpahami dari hadits di atas adalah disyariatkannya menjauhi sesuatu yang najis. Jika sangat dibutuhkan atau darurat untuk menyentuhnya, seperti istinja (mencebok) atau menghilangkan kotoran dengan tangan, maka wajib membersihkannya.
Wallahu a'lam bisshowab..
*Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.* Semoga bermanfaat. Aamiin..
[28/12/2017 1:02 AM] Musthofa AB:
*السلام عليكم ورحمة الله وبركاته*
*بسم الله الرحمن الرحيم*
*KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI*
_*BAB THAHARAH*_
*HADITS KE-10 :*
*وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ*
*Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: "Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu." Muttafaq Alaihi.*
*Makna Hadis :*
Rasulullah (s.a.w) diutus untuk menyayangi umat manusia, membimbing mereka kepada akhlak yang mulia dan membantu orang jahil apabila melakukan suatu kesalahan. Para sahabat merasa gusar dan marah terhadap orang Arab badawi yang kencing di dalam masjid ini, sedangkan dia baru masuk Islam. Rasulullah
(s.a.w) melarang mereka untuk memarahinya. Sikap para sahabat yang tergopoh-gapah itu boleh mendatangkan mudarat kerana orang Arab badawi itu apabila menghentikan kencingnya secara mengejut boleh menyebabkan pakaian dan badannya terkena najis dan najis pun akan menyebar ke tempat yang lain di
dalam masjid. Keadaan ini tidak akan terjadi apabila orang Arab badawi itu tidak menghentikan kencingnya secara tiba-tiba. Kemudian Nabi (s.a.w) memberikan petunjuk kepada mereka tentang bagaimana cara membersihkan tanah yang terkena najis, yaitu dengan menyiramnya dengan air secukupnya. Nabi (s.a.w) apabila mengutus utusan ke berbagai pelosok negeri, baginda senantiasa berpesan kepada mereka menerusi sabdanya
*Fiqh Hadis :*
1. Dianjurkan untuk bersikap belas kasihan kepada orang jahil dan memberikan pengajaran tentang apa yang harus dikerjakannya tanpa perlu menggunakantindakan kasar selagi pelanggaran yang dilakukannya itu tidak bermaksud memandang remeh atau sebagai pembangkangan.
2. Masyarakat dibolehkan memprotes orang yang melakukan pelanggaran di
hadapan pemimpin mereka meskipun tanpa memperoleh kebenaran
terdahulu daripada pemimpin mereka.
3. Menolak perkara yang boleh menimbulkan mudarat yang lebih besar di antara dua mudarat dengan cara melakukan perkara yang lebih ringan mudaratnya di antara kedua-dua mudarat itu.
4. Air kencing manusia hukumnya najis.
5. Diwajibkan menghormati masjid dan membersihkannya dari sebarang kotoran dan najis. Ini telah disadari oleh para sahabat dan oleh karananya, mereka segera memarahi lelaki badwi itu.
6. Dianjurkan supaya segera menghilangkan perkara-perkara yang boleh mendatangkan kerosakan dan bahaya selagi tidak ada halangan untuk melaksanakannya, kerana Rasulullah (s.a.w) telah menyuruh mereka supaya
menuangkan setimba air ke tempat bekas kencingnya setelah lelaki badawi itu selesai kencing.
7. Tanah yang terkena najis menjadi suci apabila telah disiram dengan air,
menurut jumhur ulama, namun menurut mazhab Hanafi, tanah yang terkena
najis menjadi suci setelah tanah itu kering.
*Faedah Hadits :*
1. Air kencing (manusia) itu najis, dan wajib mensucikan tempat yang mengenainya baik itu badan, pakaian, wadah, tanah, atau selainnya.
2. Cara mensucikan air kencing yang ada di tanah adalah menyiramkannya dengan air, dan tidak disyaratkan memindahkan debu dari tempat itu baik sebelum menyiramnya maupun setelahnya. Hal serupa (penyuciannya) dengan air kencing adalah (penyucian) najis-najis lainnya, dengan syarat najis-najis tersebut tidak berbentuk padatan.
3. Penghormatan terhadap masjid dan pensuciannya, serta menjauhkan kotoran dan najis darinya. Telah diriwayatkan oleh al-jama’ah, kecuali imam Muslim bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang Badui tersebut, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak dikotori sesuatu berupa kencing ini dan kotoran, tempat ini hanyalah untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an”.
4. Toleransinya akhlak Nabi –shallallahu a’laihi wa sallam-. Beliau memberi petunjuk kepada orang arab Badui tersebut dengan lemah lembut setelah dia selesai kencing, yang membuat dia mengkhususkan doanya untuk nabi, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau rahmati seorangpun yang ada bersama kami”, sebagaimana yang terdapat di Shahih Al Bukhori.
5. Luasnya pandangan beliau dan pengenalan beliau tentang tabiat manusia serta baiknya akhlak beliau bersama mereka sampai-sampai seluruh hati mereka mencintai beliau, Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS Al Qolam : 4).
6. Ketika ada berbagai kerusakan berkumpul, maka yang dilakukan adalah kerusakan yang lebih ringan. Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membiarkannya sampai selesai kencing, agar tidak mengakibatkan mudhorat dengan terputusnya kencing (secara mendadak) dan dari terkotorinya badannya, pakaiannya, dan menyebarnya kencing tersebut ke daerah lain di dalam masjid tersebut, serta bahaya yang terjadi pada tubuhnya khususnya saluran kencing
7. Jauhnya dari masyarakat dan kota menyebabkan kurangnya pengetahuan dan kebodohan.
8. Anjuran lemah lembut dalam mengajarkan orang yang bodoh tanpa kekerasan
9. Bahwa yang dikenai hukum-hukum syar’i berupa dosa atau hukuman di dalam kehidupan hanyalah untuk orang yang tahu terhadap hukumnya, adapun orang yang bodoh maka tidak tercela baginya, akan tetapi diajarkan padanya agar dia mengerjakannya.
Wallahu a'lam bisshowab..
*Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.* Semoga bermanfaat. Aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar